Tuesday, December 22, 2009

SEKILAS TENTANG ASURANSI DALAM BMT SYARIAH 2

BMT Syariah - Setelah mengenal sedikit pengertian asuransi, kita akan membahas tentang bentuk-bentuk asuransi.

Bentuk Asuransi

Prof. KH. Alie Yafie dalam buku "Menggagas Fiqh Sosial" mengutip uraian Prof. Dr. Wirjono Projodikoro SH. dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia, dan Ny. Emmy Pangaribu Simanjutak SH. dalam Hukum Pertanggungan, menyebut ada beberapa bentuk asuransi.

Pertama, bila ditilik dari segi maksud dan tujuan yang hendak dicapai, asuransi dapat dibagi menjadi tiga, yakni Asuransi Ganti Kerugian, Asuransi Sejumlah Uang dan Asuransi Wajib. Asuransi Ganti Kerugian atau Asuransi Kerugian adalah suatu bentuk asuransi dimana terdapat suatu perjanjian berupa kesediaan pihak penanggung untuk mengganti kerugian yang diderita oleh pihak tertanggung. Ada kalanya penggantian kerugian yang diberikan oleh penanggung sebenarnya tidak dapat disebut ganti rugi yang sesungguhnya. Yang diterimanya itu sebenarnya adalah hasil penentuan sejumlah uang tertentu yang telah disepakati kedua belah pihak. Disebut kesepakatan, karena siapa yang mau nyawanya diganti dengan sejumlah uang? Asuransi yang demikian ini disebut Asuransi Sejumlah Uang atau Asuransi Orang, yang merupakan lawan (muqabil) dari asuransi ganti kerugian yang dianggap sebagai asuransi yang sesungguhnya. Yang termasuk golongan asuransi ganti kerugian ialah asuransi kebakaran, asuransi laut, asuransi pengangkutan di darat dan sebagainya. Dan yang termasuk golongan asuransi sejumlah uang ialah asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan. Di Barat istilah insurance digunakan untuk asuransi ganti kerugian sedang assurance untuk asuransi sejumlah uang.

Sedang dalam Asuransi Wajib, dikatakan wajib karena ada salah satu pihak yang mewajibkan kepada pihak lain dalam mengadakan perjanjian. Pihak yang mewajibkan ini biasanya adalah pihak pemerintah. Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai penanggung. Ia mewajibkan asuransi ini berdasarkan atas pertimbangan untuk melindungi golongan lemah dari bahaya yang mungkin akan menimpanya. Disamping itu juga ada tujuan lain, yakni mengumpulkan sejumlah uang premi yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk keperluan lain yang dianggap lebih penting.

Kedua, apabila ditilik dari sudut badan usaha yang menyelenggarakan asuransi, maka dapat dibagi menjadi dua, yakni Asuransi Premi dan Asuransi Saling Menanggung. Asuransi premi adalah bentuk asuransi biasa. Dalam asuransi ini terdapat suatu perusahaan asuransi di satu pihak yang mengadakan persetujuan asuransi dengan masing-masing pihak tertanggung secara sendiri-sendiri, dimana diantara tertanggung tidak ada hubungan hukum satu sama lain. Kebalikannya, di dalam asuransi saling menanggung ada suatu persetujuan dari semua para pihak tertanggung selaku anggota. Mereka tidak membayar premi, melainkan membayar semacam iuran kepada pengurus dari perkumpulan. Dan juga selaku anggota perkumpulan, mereka akan menerima pembayaran apabila memenuhi syarat, yang tergantung pada peristiwa yang semula belum dapat ditentukan akan terjadi.

SEKILAS TENTANG ASURANSI DALAM BMT SYARIAH

BMT Syariah - Pembaca mungkin sudah mengetahui bahwa selain sektor riil (perdagangan dan jasa), dalam sistem ekonomi kapitalistik berkembang pula sektor non-riil atau sektor keuangan. Dalam sektor ini, uang tidak lagi dianggap sebagai alat tukar semata tapi juga sebagai komoditi yang bisa diperdagangkan atau diambil "manfaatnya". Salah satu bentuknya adalah "jasa" asuransi. Mereka memang menganggap usaha ini, sebagaimana perbankan, sebagai jasa. Padahal bila ditilik lebih jauh usaha tersebut adalah memperlakukan uang sebagai komoditi seperti disebut diatas. Maka asuransi adalah sebuah usaha yang mengambil keuntungan dari komoditas uang yang berputar dalam jasa jaminan.

Pengertian Asuransi

Dr. H. Hamzah Ya'cub dalam buku Kode Etik Dagang Menurut Islam, menyebut bahwa asuransi berasal dari kata dalam bahasa Inggris "insurance" atau assurance" yang berarti jaminan. Dalam pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dijelaskan bahwa asuransi adalah: suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.

Pada awalnya asuransi dikenal di Eropa Barat pada Abad Pertengahan berupa asuransi kebakaran. Lalu pada abad 13 - 14, seiring dengan meningkatnya lalu lintas perhubungan laut antar pulau, berkembanglah asuransi pengangkutan laut. Asuransi jiwa sendiri baru dikenal pada awal abad 19. Kodifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte memuat pasal-pasal tentang asuransi dalam KUHD. Kodifikasi ini kemudian mempengaruhi KUHD Belanda, yang sebagiannya hingga sekarang masih dipakai di Indonesia.

Bentuk asuransi sekarang sudah sangat beragam. Disamping yang telah disebut, juga ada asuransi kecelakaan, asuransi kerusakan, asuransi kesehatan, asuransi pendidikan, asuransi kredit, bahkan juga asuransi organ tubuh (kaki pada pemain bola, suara pada penyanyi dan sebagainya).

Tujuan asuransi pada pokoknya adalah "mengalihkan risiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain yang bersedia mengambil risiko itu dengan mengganti kerugian yang dideritanya. Pihak yang bersedia menerima risiko itu disebut penanggung(insurer)". Ia mau melakukan hal itu tentu bukanlah semata-mata demi kemanusiaan saja (bahkan mungkin alasan sosial ini memang tidak pernah ada), tapi karena ia melihat dalam usaha ini terdapat celah untuk mengambil keuntungan. Sebagai perusahaan, pihak penanggung bagaimanapun lebih dapat menilai besarnya risiko itu dari pada pihak tertanggung (insured) seorang. Berdasarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi penanggung dan berapa besar persentase kemungkinan klaim yang akan diterimanya, didukung analisa statistik, perusahaan asuransi dapat menghitung besarnya penggantian kerugian. Dan dari jumlah inilah perusahaan memintakan premi kepada pihak tertanggung. Di luar itu, perusahaan asuransi masih memasukkan biaya operasional dan margin keuntungan untuk perusahaan. Ini merupakan teknik perusahaan asuransi untuk meraup untung. Bila biaya operasional dan margin keuntungan dari satu nasabah tertanggung sudah diperoleh, ditambah dengan perolehan bunga dari uang premi nasabah tiap bulan yang disimpan di bank, maka perusahaan asuransi tentu saja akan meraup untung berlipat-lipat dari semakin banyak nasabah yang berhasil digaet.

Memang diakui masih ada kemungkinan dalam prakteknya perhitungan teliti itu meleset. Dalam arti, masih ada bahaya besar bagi perusahaan bila menanggung sendiri. Tapi kemungkinan itu sangat kecil, kalau tidak bisa disebut tidak ada sama sekali. Disampingi itu, perusahaan bisa berupaya agar risiko itu ditanggung pula oleh pihak lain. Inilah yang dinamakan re-asuransi.

Bersambung ke SEKILAS TENTANG ASURANSI DALAM BMT SYARIAH 2

Thursday, December 3, 2009

Peran dan Fungsi Koperasi Syariah

Dalam koperasi konvensional lebih mengutamakan mencari keuntungan untuk kesejahteraan anggota, baik dengan cara tunai atau membungakan uang yang ada pada anggota. Ironisnya sebagian anggota yang meminjam biasanya anggota yang mengalami defisit keuangan untuk kebutuhan sehari-hari (emergency loan) dan pihak koperasi memberlakukannya sama dengan peminjam lainnya dengan mematok bunga yang sama besar.

Pada Koperasi Syari’ah hal ini tidak dibenarkan, setiap transaksi pembiayaan diperlakukan secara berbeda tergantung jenis kebutuhan anggotanya dengan imbalan yang diterima seperti : Fee (untuk pelayanan jasa-jasa), Margin (untuk jual beli) dan bagi Hasil (untuk kerja sama usaha). Oleh karenanya Koperasi Syari’ah memiliki peran dan Fungsi antra lain :

1) Sebagai Manajer Investasi

Koperasi Syari’ah merupakan manajer Investasi dari pemilik dana yang dihimpunnya. Besar kecilnya Hasil Usaha Koperasi tergantung dari keahlian, kehati-hatian, dan profesionalisme koperasi Syari’ah. Penyaluran dana yang dilakukan koperasi syari’ah memiliki implikasi langsung kepada berkembangnya sebuah koperasi syari’ah.

Koperasi Syari’ah melakukan fungsi ini terutama dalam akad pembiayaan Mudharabah, dimana posisi bank sebagai “agency contract” yaitu sebagai lembaga yang menginvestasikan dana-dana pihak lain pada usaha-usaha yang menguntungkan. Jika terjadi kerugian maka Koperasi syari’ah tidak boleh meminta imbalan sedikitpun karena kerugian dibebankan pada pemilik dana. Fungsi ini terlihat pada penghimpunan dana khususnya dari bentuk tabungan Mudharabah maupun investasi pihak lain tidak terikat. Oleh karenanya tidak sepatutnya koperasi syari’ah menghimpun dana yang bersifat mudharabah baik tabungan maupun investasi tidak terikat jika tidak memiliki obyek usaha yang jelas dan menguntungkan.

2) Sebagai Investor

Koperasi Syari’ah menginvestasikan dana yang dihimpun dari anggota maupun pihak lain dengan pola investasi yang sesuai dengan syar’ah. Investasi yang sesuai meliputi akad jual beli secara tunai (Al Musawamah) dan tidak tunai (Al Murabahah), Sewa-menyewa (Ijaroh), kerjasama penyertaan sebagian modal (Musyarakah) dan penyertaan modal seluruhnya (Mudharabah). Keuntungan yang diperoleh dibagikan secara proporsional (sesuai kespakatan nisbah) pada pihak yang memberikan dana seperti tabungan sukarela atau investasi pihak lain sisanya damasukan pada pendapatan Operasi Koperasi Syari’ah.

3) Fungsi Sosial

Konsep Koperasi Syari’ah mengharuskan memberikan pelayanan social bak kepada anggota yang membutuhkannya maupun kepada masyarakat dhu’afa. Kepada anggota yang membutuhkan pinjaman darurat (mergency loan) dapat diberikan pinjaman kebajikan dengan pengembalian pokok (Al Qard) yang sumber dananya berasal dari modal maupun laba yang dihimpun. Dimana anggota tidak dibebankan bunga dan sebagainya seperti di koperasi konvensional. Sementara bagi anggota masyarakat dhuafa dapat diberikan pinjaman kebajikan dengan atau tampak pengembalian pokok (Qardhul Hasan) yang sumber dananya dari dana ZIS (zakat, infak dan shadaqoh). Pinjaman Qardhul Hasan ini diutamakan sebagai modal usaha bagi masyarakat miskin agar usahanya menjadi besar, jika usahanya mengalami kemacetan, ia tidak perlu dibebani dengan pengembalian pokoknya.

Fungsi ini juga yang membedakan antara koperasi konvensional dengan koperasi syari’ah dimana konsep tolong menolong begitu kentalnya sesuai dengan ajaran Islam “ Dan tolon menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah kamu tolong menolong dalam permusuhan dan perbuatan dosa..” (QS Al Maidah : 2)

Friday, November 27, 2009

Menyusun Proyeksi Keuangan Koperasi Syari’ah

1) Proyeksi Neraca

Menyusun proyeksi Aktiva dan Pasiva dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember

2) Proyeksi Laba Rugi

Menyusun proyeksi pendapatan dan biaya-biaya dari bulan Januari sampai dengan Desember

3) Proyeksi Arus Kas

Menyusun Proyeksi Kenaikan dan Penururnan aktifitas Operasi dan Non Operasi dari bulan Januari sampai dengan Bulan Desember

Wednesday, November 25, 2009

Sasaran, Strategi, Kebijakan dan Program Kerja

1) Bagian Penghimpunan Dana

· Marketing Dana

Ø Sasaran
Terhimpunnya dana pihak ke tiga sesuai target yang ingin dicapai.

Ø Strategi
Membuat leaflet /brosur dan fieture-fieture hadiah menarik bagi penyimpan dana di Koperasi Syari’ah.

Ø Kebijakan
Menghimpun dana dari anggota maupun non anggota ataupun lembaga lainnya untuk memperbesar usahanya.

Ø Program Kerja
Menawarkan produk dan jasa kepada anggota, non anggota maupun lembaga lainnya.

· Teller/Kasir

Ø Sasaran
Terciptanya kelancaran transaksi keuangan koperasi syari’ah dengan tertib, rapih dan nyaman.

Ø Strategi
Menggunakan teori antrian dan menambah petugas sesuai kebutuhan.

Ø Kebijakan
Menciptakan kepuasan pelayanan terhadap anggota koperasi syari’ah

Ø Program Kerja
Melayani transaksi uang masuk dan uang keluar

· Accounting

Ø Sasaran
Terwujudnya Laporan Keuangan Koperasi secara Real Time dengan baik dan benar.

Ø Strategi
Menggunakan Software aplikasi koperasi syari’ah jika memungkinkan

Ø Kebijakan
Menyajikan Laporan Keuangan setiap saat dibutuhkan.

Ø Program Kerja
Menyususn pembukuan transaksi setiap hari dan laporan tahunan.

2) Bagian Penyaluran Dana

· Staf Pembiayaan

Ø Sasaran
Terealisasinya pembiayaan sebesar target yang dianggarkan dalam RKATKS

Ø Strategi
Jemput bola dalam pencairan maupun pembayaran angsuran

Ø Kebijakan
Mencairkan pembiayaan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Ø Program Kerja
Menawarkan produk pembiayaan, menganalisa, mencairkan, monitoring dan menagih

· Staf Sektor Riel

Ø Sasaran
Terciptanya usaha kebutuhan anggota dan investasi yang aman dan menguntungkan.

Ø Strategi
Mendirikan toko/warung kebutuhan anggota dan masyarakat lainnya.

Ø Kebijakan
Mengelola usaha anggota dengan sebaik-baiknya

Ø Program Kerja
Menjual berbagai kebutuhan anggota dan masyarakat

· Bagian Legal

Ø Sasaran
Terproteksinya akad-akad pembiayaan secara yuridis dan dapat meminimalisir resiko kemacetan usaha-usaha koperasi syari’ah

Ø Strategi
Melakukan standarisasi akad, Taksasi jaminan dan on the spot jaminan yang diberikan.

Ø Kebijakan
Menyeleksi administrasi dan jaminan debitur berdasarkan aspek yuridis dan arbitrase Muamalat.

Ø Program Kerja
Memeriksa berkas pengajuan pembiayaan dan investasi, menentukan nilai taksasi jaminan, menyelesaikan pembiayaan bermasalah

Saturday, November 21, 2009

Rencana Strategis Tahunan

1) Segmen Pasar yang dibidik

Segmen pasar yang paling baik dibidik koperasi syari’ah adalah “Ceruk Pasar” usaha-usaha individu maupun lembaga-lembaga masyarakat, dimana segmen ini tidak menjadi daya tarik bagi industri perbankan. Kompetiter yang ada lebih didominasi oleh para rentenir ataupun koperasi lainnya. Sementara bagian Koperasi Karyawan yang memiliki segmen pasar yang jelas tinggal memperhatikan jenis-jenis kebutuhan yang diperlukan karyawan.

2) Target Pasar yang diharapkan

Dari segmen pasar yang dibidik, di buat proyeksi dengan asumsi nominal rupiah yang diinginkan setiap transaksi penghimpunan maupun penyaluran.

3) Nilai Jual Koperasi Syari’ah

Koperasi Syari’ah harus memiliki nilai jual Serba Mudah, Serba Murah dan pelayanan prima. Koperasi juga harus memiliki penampilan kantor yang layak dan suasana yang nyaman dengan nuansa Islami.

4) Formulasi Program

Formulasi program disesuaikan dengan segmen pasar dari koperasi Syari’ah. Dalam mengekspresikan programnya dibuat secara sederhana dan dapat dimengerti dengan mudah oleh anggotanya dengan slogan serba mudah, serba murah dan serba cepat.

Friday, November 20, 2009

Dtrategi Sasaran: Pendahuluan

Strategi dan Sasaran Koperasi Syari’ah harus dituangkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan Koperasi Syari’ah (RKATKS) sebagai acuan Manager Koperasi dalam melakukan kegiatan operasional Koperasi Syari’ah. RKATKS dibuat oleh Pengelola dan Pengurus pada periode akhir tahun, sehingga Awal tahun sudah dapat digunakan sebagai acuan Operasional. RKATKS sekurang-kurangnya memuat antara lain :

a) Pendahuluan

1) Visi, Misi dan Tata Nilai

· Visi koperasi syari’ah harus mencerminkan semangat usaha bersama dengan berpedoman pada Al Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW.

· Misi koperasi syari’ah merupakan penjabaran dari visi yang diembannya.

· Tata nilai merupakan karakter kerja yang menjadi budaya dalam menjalankan koperasi syari’ah .

2) Arah Pengembangan Koperasi Syari’ah

Pengurus harus dapat memprediksikan pengembangan koperasi syari’ah kedepan dengan jangka panjang 5 tahun mendatang.

3) Analisa dan Potensi Pasar

Dalam mengembangkan koperasi syari’ah, Pengurus maupun pengelola harus mengumpulkan data-data potensi usaha yang kemungkinan dapat dikembangkan.

Thursday, November 12, 2009

Distribusi Pendapatan

Jika dalam koperasi konvensional pendapatan dari jasa pinjaman koperasi disebut jasa pinjaman (bunga), maka pendapatan koperasi syari’ah memiliki berbagai karakteristik tersendiri, tergantung dari tujuan penggunaan dana itu sendiri. Pendapatan yang bersumber dari jasa-jasa koperasi seperti wakalah, Hawalah, kafalah disebut pendapatan Fee koperasi syari’ah dan pendapatan sewa (Ijaroh). Pendapatan yang bersumber dari Jual beli (piutang dagang) Murabahah, Salam dan Istishna disebut Margin sedangkan pendapatan hasil investasi ataupun kerjasama (Musyarakah dan Mudharabah) disebut pendapatan Bagi Hasil. Pendapatan Bagi hasil dari penempatan Koperasi Syari’ah di Bank Syari’ah maupun Koperasi Syari’ah lainnya tidak termasuk distribusi pendapatan yang harus dibagi kepada pemilik dana pihak ketiga melainkan masuk kedalam porsi pendapatan Koperasi Syari’ah.

Tuesday, November 10, 2009

Penyaluran Dana

1. Investasi/Kerjasama

Kerjasama dapat dilakukan dalam bentuk Mudharabah dan musyarakah. Dalam penyaluran dana dalam bentuk mudharabah dan musyarakah Koperasi Syari’ah bertindak selaku pemilik dana (shahibul maal) sedangkan pengguna dana adalah pengusaha (mudharib) kerjasama dapat dilakukan untuk mendanai sebuah usaha yang dinyatakan layak untuk didanai.

Contohnya : untuk pendirian klinik, kantin, toserba dan usaha lainnya

2. Jual Beli (Al Bai’)

Jual beli dalam koperasi syariah memiliki beragam jenis yang dapat dilakukan antara lain seperti :

1. Jual beli secara tunai seperti adanya usaha toserba dengan melakukan transaksi jual beli antara si penjual dengan sipembeli dimana sudah terjadi kesepakatan harga. Jika si pembeli tidak mengetahui berapa keuntungan sipenjual/modal awal dari barang yang dijualnya maka transaksi tersebut dinamakan Bai’ Al Musaawamah (jual beli tunai).

2. Jual beli secara tangguh (kridit/angsur) antara sipenjual dengan sipembeli dimana sudah terjadi kesepakatan harga dan sipenjual menyatakan harga belinya dan si pembeli mengetahui besar keuntungan si penjual transaksi ini disebut disebut Bai Al Murabahah. Jika sipembeli membayar secara tunai saat jatuh tmpo tetap dinamakan murabahah mengingat modal awalnya sudah diketahui dan jumlah keuntungan yang diterima sipenjual juga diketahui.

3. Jual beli secara pararel yang dilakukan oleh 3 pihak, sebagai contoh pihak 1 memesan pakaian seragam sebanyak 100 stel kepada koperasi syari’ah dan koperasi syari’ah memesan dari konveksi untuk dibuatkan 100 stel seragam yang dimaksud dan koperasi membayarnya dengan DP (Urbun) dan dibayar setelah jadi, setelah selesai diserahkan ke pihak 1 dan pihak ke 1 membayarnya baik secara tunai maupun diangsur. Pembiayaan ini disebut Al Bai Istishna jika koperasi membayarnya dimuka disebut Bai’ Salam.

3. Jasa Layanan Koperasi Syari’ah

Disamping produk kerja sama dan jual beli koperasi syari’ah juga dapat melakukan kegiatan jasa layanan antara lain :

1) Jasa Wakalah (Perwakilan)

Jasa ini timbul dari hasil pengurusan sesuatu hal yang dibutuhkan anggotanya dimana anggota mewakilkan urusan tersebut kepada koperasi seperti contohnya : pengurusan SIM, STNK pembelian barang tertentu disuatu tempat. Dan lain-lain. Wakalah berarti juga penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat.


“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman” (Q.S Yusuf ayat 55)


“Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafie dan seorang Anshor untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Al harits” (Al Hadits)


2) Jasa Kafalah (Penjaminan)

Jasa ini timbul karena adanya transaksi anggota dengan pihak lain dan pihak lain tersebut membutuhkan jaminan dari koperasi yang anggotanya berhubungan dengannya. Contoh kasus bila para anggotanya mengajukan pembiayaan dari Bank Syari’ah dimana koperasi Syari’ah bertindak sebagai penjamin atas kelancaran angsuran anggotanya. Pengertian kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (Koperasi) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban anggotanya atau yang ditanggung atau seputar mengalihkan tanggung jawab.

“Penyeru-penyeru itu berseru, ‘kami kehilangan piala raja, barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya “.

(Q.S Yusuf ayat 72)

3) Jasa Al Ijaroh (sewa)

Jasa Al Ijaroh adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Contohnya penyewaan tenda, Sound system dan lain-lain.

“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al Baqarag ayat 233).

4) Jasa Hawalah (Anjak Piutang)

Jasa ini timbul karena adanya peralihan kewajiban dari seseorang anggota terhadap pihak lain dan dialihkan kewajibannya tersebut kepada koperasi syari’ah. Contoh kasus anggota yang terbelit dengan kartu kredit yang bunganya mencekik dan pihak koperasi menyelesaikan kewajiban anggota tersebut dan anggota membayar kewajibannya kepada koperasi. Hawalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.


“ Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu/kaya, maka terimalah hawalah itu. (HR. Bukhori dan Muslim dari riwayat Abu Hurairah)

5) Jasa Rahn (Gadai)

Jasa Rahn (Gadai) timubul karena adanya kebutuhan keuangan yang mendesak dari para anggotanya dan koperasi dapat memenuhinya dengan cara barang milik anggota dikuasai oleh koperasi dengan kesepakatan bersama. Pengertian Rahn sendiri adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.

“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang).” (Q.S Al baqarah ayat 283)

Dari Anas r.a berkata :”Rasulullah SAW menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau”. (HR.Bukhori, Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah)

6) Jasa Wadi’ah (Titipan)

Jasa wadi’ah dapat dilakukan pula dalam bentuk barang seperti jasa penitipan barang dalam Locker Karyawan/Mahasiswa atau penitipan sepedah motor, mobil dan lain-lainnya.

“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya.” (Q.S An Nisa ayat 58).

“ Berkata Rasulullah SAW “Tunaikanlah Amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Ibnu Umar).

Thursday, November 5, 2009

Penghimpunan Dana

Penghimpunan dana koperasi syari’ah bersumber dari :

1. Simpanan Pokok

Simpanan pokok merupakan modal awal anggota yang disetorkan dimana besar simpanan pokok tersebut sama dan tidak boleh dibedakan antara anggota. Akad syari’ah simpanan pokok tersebut masuk katagori akad Musyarakah. Konsep pendirian koperasi syari’ah tepatnya menggunakan konsep Syirkah Mufawadhoh yakni sebuah usaha yang didirikan secara bersama-sama dua orang atau lebih, masing-masing memberikan kontribusi dana dalam porsi yang sama dan berpartisipasi dalam kerja dengan bobot yang sama pula. Masing-masing partner saling menanggung satu sama lain dalam hak dan kewajiban. Dan tidak diperkenankan salah seorang memasukan modal yang lebih besar dan memperoleh keuntungan yang lebih besar pula dibanding dengan partner lainnya.

2. Simpanan Wajib

Simpanan wajib masuk dalam katagori modal koperasi sebagaimana simpanan pokok dimana besar kewajibannya diputuskan berdasarkan hasil syuro (musyawarah) anggota serta penyetorannya dilakukan secara kontinyu setiap bulannya sampai seseorang dinyatakan keluar dari keanggotaan koperasi Syari’ah.

3. Simpanan Sukarela

Simpanan anggota merupakan bentuk investasi dari anggota atau calon anggota Koperasi Syari’ah yang memiliki kelebihan dana kemudian menyisimpannya di Koperasi Syari’ah.

Bentuk simpanan sukarela ini memiliki 2 jenis karakter antara lain :

1) Karakter pertama bersifat dana titipan yang disebut (Wadi’ah) dan dapat diambil setiap saat. Titipan (wadi’ah) terbagi atas 2 macam yaitu titipan (wadiah) amanah dan titipan (Wadi’ah) Yad dhomanah.

Titipan (Wadi’ah) Amanah merupakan titipan yang tidak boleh dipergunakan baik untuk kepentingan koperasi maupun untuk investasi usaha, melainkan pihak koperasi harus menjaga titipan tersebut sampai diambil oleh sipemiliknya. Wadi’ah amanah yang dimaksud disini biasanya berupa dana ZIS (Zakat,infak dan shadaqoh) yang dimiliki oleh 8 asnaf mustahik dan disalurkan baik dalam bentuk mustahik produktif maupun konsumtif. Sementara titipan (wadi’ah) Yad dhomanah adalah dana titipan anggota kepada koperasi yang di izinkan untuk dikelola dalam usaha ril sepanjang dana tersebut belum diambil oleh sipemiliknya. Mengingat dana tersebut dapat dikelola oleh koperasi maka sepantasnya koperasi syariah memberikan kelebihan berupa bonus kepada sipenitip, meski tidak ada larangan untuk tidak memberikan bonusnya.

“ diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta, maka diberikannya unta qurban. Setelah selang beberapa waktu Abu Rafie diperintahkan rasulullah untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali berbalik menghadap rasulullah seraya berkata “ Ya Rasulullah untuk yang sepadan tidak kami temukan, hanya untuk yang lebih besar dan berumur empat tahun” Rasulullah SAW membalas sambil berkata “ Berikan itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar”

2) Karakter ke dua bersifat investasi, yang memang ditujukan untuk kepentingan usaha dengan mekanisme bagi hasil (Mudharobah) baik Revenue sharing maupun Profit and loss sharing. Konsep Simpanan yang diberlakukan dapat berupa simpanan berjangka Mudharobah Mutlaqoh maupun simpanan berjangka mudharabah Muqayadah. Mudharabah Mutlaqoh adalah bentuk kerja sama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan Koperasi Syari’ah selaku pengusaha (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah usaha. Sementara Mudharabah Muqayadah adalah bentuk kerjasama antara pemilik dana dengan Koperasi Syari’ah selaku pengusaha (mudharib) dimana penggunaan dana dibatasi oleh ketentuan yang dipersyaratkan oleh pemilik dana. Dan merupakan kebalikan dari Mudharabah mutlaqoh.


Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwasanya Sayyidina Abbas jikalau memberikan dana kepada mitra usahanya secara mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak yang berparu-paru basah, jika menyalahi peraturan maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikan syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah dan diapun memperkenankannya.

4. Investasi pihak lain

Dalam melakukan operasionalnya lembaga koperasi syari’ah sebagaimana koperasi konvensional biasanya sangat membutuhkan suntikan dana agar dapat mengembangkan usahanya secara maksimal, mengingat prospek pasar yang teramat besar sementara simpanan anggotanya masih sedikit dan terbatas. Oleh karenanya dibenarkan untuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain seperti Bank Syari’ah maupun program-program pemerintah. Investasi pihak lain ini dapat dilakukan dengan menggunakan konsep mudharabah maupun konsep musyarakah. Konsep musyarakah adalah suatu perkongsian atau kerjasama yang dilakukan 2 pihak atau lebih dimana masing-masing pihak memberikan kontribusinya baik sebagian modal maupun ketrampilan usaha. Dengan batasan waktu yang ditentukan dan disepakati bersama kedua pihak.

Tuesday, November 3, 2009

Prinsip Operasional Koperasi Syari’ah

Pada prinsipnya, operasional Koperasi Syari’ah hampir tidak berbeda dengan BMT (Baitul Maal Wattamwil) Bank Umum Syari’ah (BUS) atau Unit Usaha Syari’ah (UUS), dan BPR Syari’ah, hanya sekalanya saja yang berbeda. Dikoperasi Syari’ah ini justru dapat lebih luas lagi pengembangannya terutama dalam mempraktekan akad-akad muamalat yang sulit dipraktekan di perbankan syari’ah karena adanya keterbatasan peraturan PBI (Peraturan Bank Indonesia).

Landasan Dasar Sistem Koperasi Syariah

Yang menjadi landasan dasar Koperasi syari’ah sebagaimana lembaga ekonomi Islam lainnya yakni mengacu pada sistem ekonomi Islam itu sendiri sebagaimana tersirat melalui fenomena alam semesta dan juga tersurat dalam Al Qur’an serta Al Hadits. Landasan dasar koperasi Syari’ah antara lain :

1) Koperasi Melalui Pendekatan Sistem Syari’ah

· Sistem ekonomi Islam yang integral dan merupakan suatu kumpulan dari barang-barang atau bagian-bagian yang bekerja secara bersama-sama Sebagai suatu keseluruhan.

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya Syetan itu adalah musuhmu yang nyata”. (Q.S. Al Baqarah : 208)

· Bagian dari nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam yang mengatur bidang perekonomian umat yang tidak terpisahkan dari aspek-aspek lain dari keseluruhan ajaran Islam yang komprehensif dan integral

“Pada hari ini telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah aku cukupkan kepadamu nikmat Ku, dan telah aku ridhoi Islam sebagai agama bagimu” (Q.S. Al Maidah : 3)

2) Tujuan Sistem Koperasi Syariah

· Mensejahterakan Ekonomi Anggota sesuai norma dan moral Islam :

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi, dan jangalah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu” (Q.S Al Baqarah : 168)

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.(Q.S AL Maidah : 87-88)

“ Apa bila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah dimuka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung..” (Q.S Al Jumu’ah : 10)

· Persaudaraan dan Keadilan Bersama

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki serta seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal” Q.S Al Hujarat (49) : 13


“Katakanlah; “Hai manusia sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan selain dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat Nya (kitab-kitab Nya) dan ikutilah dia, saupaya kamu dapat petunjuk” Q.S Al A’raaf (7) : 158


· Distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata dan Agama Islam mentolerir kesenjangan kekayaan dan penghasilan karena manusia tidak sama dalam hal karakter, kemampuan, kesungguhan dan bakat. Perbedaan diatas tersebut merupakan penyebab perbedaan dalam pendapatan dan kekayaan. Hal ini dapat terlihat pada Al Qur’an :


“Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya tuhan mu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S Al An’aam (6) : 165)

‘Dan Allah melebihklan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah…?” (Q.S An Nahl (16) : 71)


“Kami telah menetukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebaian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan Rahmat tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S Az Zukhruf (43) :32)


· Kebebasan pribadi dalam kemaslahatan sosial yang didasarkan pada pengertian bahwa manusia diciptakan hanya untuk tunduk kepada Allah.

“ Katakanlah : “ Sesungguhnya aku hanya diperintah menyembah Allah dan tidak untuk mempersekutukan sesuatupun dengan Dia. Hanya Kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada Nya aku kembali ”

(Q.S Ar Ra’d (13) : 36)

“ Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, mak sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah lah kesudahan segala urusan.” (Q.S Lukman (31) : 22)

3) Kaidah Ushul Fiqih Yang Dipakai

· Kemaslahatan masyarakat lebih besar harus didahulukan dari pada kemaslahatan individu yang lebih sempit.

· Meskipun “menghilangkan bahaya kesukaran” dan “mendorong kemaslahatan” kedua-duanya merupakan tujuan pokok syari’ah, namun yang pertama harus lebih didahulukan.

· Kerugian yang lebih besar tidak dapat ditimpakan untuk menghindari kerugian yang lebih sempit atau kemaslahatan yang lebih besar tidak dapat dikorbankan untuk mendapatkan kemaslahatan yang lebih kecil.

4) Karakteristik Koperasi Syariah

· Mengakui hak milik individu terhadap modal usaha
· Tiadanya transaksi berbasis bunga (riba)
· Berfungsinya institusi zakat
· Mengakui mekanisme pasar
· Mengakui motif mencari keuntungan
· Mengakui kebebasan berusaha
· Mengakui adanya hak bersama

Gambaran Tentang Koperasi Syariah

Koperasi Syari’ah merupakan sebuah konversi dari koperasi konvensional melalui pendekatan yang sesuai dengan syariat Islam dan peneladanan ekonomi yang dilakukan rasulullah dan para sahabatnya.

Konsep pendirian koperasi syari’ah menggunakan konsep Syirkah Mufawadhoh yakni sebuah usaha yang didirikan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih, masing-masing memberikan kontribusi dana dalam porsi yang sama besar dan berpartisipasi dalam kerja dengan bobot yang sama pula. Masing-masing partner saling menanggung satu sama lain dalam hak dan kewajiban. Dan tidak diperkenankan salah seorang memasukan modal yang lebih besar dan memperoleh keuntungan yang lebih besar pula dibanding dengan partner lainnya.

Azas usaha koperasi syari’ah berdasarkan konsep gotong royong, dan tidak dimonopoli oleh salah seorang pemilik modal. Begitu pula dalam hal keuntungan maupun kerugian yang diperoleh harus dibagi secara sama dan proporsional.

Penekanan manajemen usaha dilakukan secara Syuro (musyawarah) sesama anggota dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) dengan melibatkan seluruhnya potensi anggota yang dimilikinya.

“…..Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, Allah amat berat siksaannya “.
(Q.S Al Maidah ayat 2).

Perkembangan Koperasi Syariah

Koperasi Syari'ah mulai diperbincangkan banyak orang ketika menyikapi pertumbuhan Baitul Maal Wattamwil di Indonesia semakin marak. Baitul Maal Wattamwil yang dikenal dengan sebutan BMT yang dimotori pertama kalinya oleh BMT Bina Insan Kamil tahun 1992 di Jakarta, ternyata mampu memberi warna bagi perekonomian kalangan akar rumput yakni para pengusaha gurem disektor informal.

Kendati awalnya hanya merupakan KSM Syari'ah (baca Kelompok Swadaya Masyarakat berlandaskan Syari'ah) namun demikian memiliki kinerja layaknya sebuah Bank. Diklasifikasinya BMT sebagai KSM guna menghindari jeratan hukum sebagai bank gelap dan adanya program PHBK Bank Indonesia (Pola Hubungan kerja sama antara Bank dengan kelompok Swadaya Masyarakat) HAsil kerjasama Bank Indonesia dengan LSM Jerman GTZ.

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa segala kegiatan dalam bentuk penghimpunan dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan distribusi dalam bentuk kredit harus berbentuk Bank (pasal 26). Maka munculah beberapa LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat) yang memayungi KSM BMT. LPSM tersebut antara lain : P3UK sebagai penggagas awal, PINBUK dan FES Dompet Dhuafa Republika.

Jika melihat Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Dalam penjelasan pasal ini menyatakan bahwa kemakmuran masyarakat sangat diutamakan bukan kemakmuran orang perseorang dan bentuk usaha seperti itu yang tepat adalah Koperasi. Atas dasar pertimbangan itu maka disahkan Undang-Undang RI Nomor 25 tahun 1992 pada tanggal 12 Oktober 1992 “Tentang Perkoperasian” oleh Presiden Soeharto.

BMT yang memiliki basis kegiatan ekonomi rakyat dengan falsafah yang sama yaitu dari anggota oleh anggota untuk anggota maka berdasarkan Undang-undang RI Nomor 25 tahun 1992 tersebut berhak menggunakan badan hukum koperasi, dimana letak perbedaannya dengan koperasi non Syari'ah hanya terletak pada teknis operasionalnya yang berlandaskan Syari'ah seperti non bunga dan etika moral dengan melihat kaidah halal dan haram dalam melakukan usahanya.

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa Koperasi Syari'ah adalah usaha ekonomi yang terorganisir secara mantap, demokratis, otonom partisipatif, dan berwatak sosial yang operasionalnya menggunakan prinsip-prinsip yang mengusung etika moral dan berusaha dengan memperhatikan halal atau haramya sebuah usaha yang dijalankan sebagaimana diajarkam dalam Agama Islam.

BMT-BMT yang tergabung dalam Forum Komunikasi BMT Sejabotabek sejak tahun 1995 dalam setiap pertemuannya, berupaya menggagas sebuah payung hukum bagi anggotanya, maka tercetuslah ide pendirian BMT dengan badan hukum Koperasi, kendati badan hukum Koperasi yang dikenakan masih menggunakan jenis Badan Hukum Koperasi Karyawan Yayasan, namun pada tahun 1998 dari hasil beberapa pertemuan BMT-BMT yang berbadan hukum koperasi yaysan tersebut maka di etuskan pula pendirian sebuah koperasi sekunder yakni Koperasi Syari’ah Indonesia (KOSINDO) pada tahun 1998, sebuah koperasi sekunder dengan keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor. 028/BH/M.I/XI/1998. ysng diketuai DR, H. Ahmat Hatta, MA. Selain KOSINDO berdiri pula INKOPSYAH (Induk Koperasi Syari’ah) yang diprakarsai oleh PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). ICMI, KOFESMID yang didirikan oleh Dompet Dhuafa.

Berangkat dari kebijakan pengelolaan BMT yang memfokuskan anggotanya pada sektor keuangan dalam hal penghimpunan dana dan pendayagunaan dana tersebut maka bentuk yang idealnya adalah Koperasi Simpan Pinjam Syari'ah yang selanjutnya disebut KJKS (Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah) sebagaimana Keputusan Menteri Koperasi RI No. : 91 /Kep/M.KUKM/IX/2004. “Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah”.

Namun demikian, jika melihat dari banyaknya akad-akad muamalat yang ada, tidak menutup kemungkinan Koperasi Syari’ah dapat berbentuk Koperasi Serba Usaha (KSU). Khususnya jika ditinjau dari akad jasa persewaan, Gadai dan jual beli secara tunai (Bai ‘ Al Musawamah) Sehingga dapat dikatakan KSU Syari’ah. Disisi lain kegiatan usaha pembiayaan anggota dalam bentuk tidak tunai dapat dikatagorikan sebagai Unit Simpan pinjam (USP) atau Unit Jasa Keuangan Syari’ah dari KSU Syari’ah tersebut.

Badan hukum Koperasi Syari'ah dianggap syah setelah Akta pendiriannya dikeluarkan Notaris yang ditunjuk dan disahkan oleh pemerintah melalui Kandep Koperasi untuk keanggotaannya wilayah Kabupaten/Kodya, sedangkan untuk ke anggotaannya meliputi propinsi harus dibuat di Kanwil Koperasi propinsi yang bersangkutan.

Sejarah Koperasi Indonesia

Pada tahun 1896 seorang pamong praja Patih R. Aria Wiria Atmaja di Purwokerto mendirikan sebuah Bank untuk para pegawai negeri (priyayi). Terdorong oleh keinginan untuk menolong para pegawai yang makin menderita karena terjerat oleh lintah darat yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Maka patih tersebut mendirikan koperasi kredit model Raif Feisen seperti di Jerman.Dengan dibantu oleh Asisten Residen Belanda (Pamong Praja Belanda) yang pada waktu cuti berkunjung ke Jerman. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengubah “Bank Pertolongan Tabungan” menjadi “Bank Pertolongan Tabungan dan Pertanian” Mengingat bukan hanya pegawai negeri saja yang menderita melainkan petanipun terjerat pengijon.

Pada tahun 1915 lahirlah Undang-undang Koperasi yang Pertama yang dikenal pula dengan nama Verordening op de Cooperative Vereeningen (Koninkklijk Besluit 7 April 1915 Stbl No. 431), yakni undang-undang tentang perkumpulan koperasi yang berlaku untuk segala bangsa dan bukan khusus Bumi Putra saja. Pada tahun 1920 diadakan Cooperative Commissie (Komisi atau Panitia Koperasi) yang diketuai oleh Prof, DR. J.H Boeke. Tugas Panitia ini adalah mengadakan penelitian apakah koperasi ini bermanfaat untuk Indonesia (d/h Nederlandsch Indie).

Undang-undang Dasar 1945 menempatkan koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Atas dasar itu koperasi sebagai suatu perusahaan yang permanen dan memungkinkan koperasi untuk berkembang secara ekonomis. Sehingga diharapkan mampu memberikan pelayanan secara terus menerus dan meningkatkan kesejahteraan kepada anggotanya serta masyarakat sekitarnya, juga dapat memberikan sumbangan yang mendasar kepada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Tuesday, October 27, 2009

Takaful: Beberapa Pertanyaan

Beberapa Pertanyaan

Kendati sekilas tampaknya semua mekanisme takaful Islam telah berjalan sesuai syari'ah, tapi tak urung mengundang sejumlah pertanyaan. Pada pokoknya pertanyaan tersebut berpangkal pada dua perkara yakni: Pertama, tentang terpenuhi tidaknya syarat bagi sahnya aqad jaminan serta terpenuhi tidaknya syarat dalam aqad jaminan yang disahkan syara'; dan Kedua, seputar kedudukan perusahaan takaful itu sendiri: apakah ia berperan sebagai perusahaan penjamin, ataukah sebagai perusahaan pengelola dana nasabah (mudharib), atau hanya sekedar sebagai pialang (broker) yang mempertemukan nasabah sebagai pemilik dana dengan pengusaha.

Menurut fiqh Islam, sebagaimana disebut oleh Syekh Taqiyyudin al-Nabhani di atas, terdapat lima rukun dhaman, yakni adanya pihak yang menjamin
(dhamin), yang dijamin (madhmun 'anhu) dan yang meneriman jaminan (madhmun lahu), dan adanya barang atau beban (harta) yang harus ditunaikan, yakni sebagaimana disebut oleh hadits di atas, berupa hak harta yang wajib dibayar atau akan jatuh tempo pemenuhannya, serta adanya ikrar atau ijab qabul. Nah, sudahkan kelima rukun ini lengkap ada dalam asuransi takaful?

Pada sisi lain ada kesamaran dalam mekanisme asuransi takaful. Bila dikaji lebih jauh, di dalam mekanisme kerja asuransi takaful agaknya berlangsung dua aqad sekaligus, yakni aqad saling menanggung diantara para nasabah (aqad takafuli) dan aqad syarikat antara nasabah dan perusahaan takaful yang dibuktikan dengan adanya bagi hasil uang nasabah yang disimpan perusahaan asuransi takaful. Dalam hal aqad saling menanggung, siapakah yang menjadi penanggung dan yang ditanggung? Bila aqad dalam Takaful adalah aqad takafuli antar peserta, pernahkan aqad itu berlangsung sebagaimana mestinya diantara mereka sendiri? Bila diantara nasabah sudah bisa saling menanggung, lalu apa fungsi perusahaan asuransi Takaful? Maksudnya, dalam hal ini kedudukan perusahaan Takaful sebagai apa? Apakah sebagai pihak pengelola dana nasabah? Bila sebagai pengelola dana nasabah, mengapa disebut perusahaan Takaful, mengapa bukan perusahaan biasa sebagaimana yang lain?

Tapi, benarkah perusahaan asuransi Takaful bertindak sebagai pengelola dana nasabah? Ternyata tidak, karena dana yang dikumpulkan tidak dikelola sendiri (menurut UU yang berlaku Takaful termasuk lembaga keuangan non bank yang hanya boleh menghimpun dana tapi tidak boleh menyalurkan apalagi memutarnya sendiri) melainkan disalurkan ke BMI. Itupun oleh BMI, karena juga tidak boleh berusaha (lembaga keuangan bank menurut UU hanya boleh menghimpun dan menyalurkan dana, tapi tidak boleh berusaha), disalurkan lagi kepada pengusaha. Karena bukan sebagai lembaga pengelola, maka semestinya perusahaan Takaful hanya berfungsi sebagai pialang (perantara) antara nasabah dan pengusaha (yang dalam faktanya itupun tidak pernah ada), ataupun wakil nasabah dalam berhadapan dengan pengusaha. Sebagai perantara, Takaful berhak mendapat komisi. Sedang sebagai wakil, Takaful bisa mendapat imbalan (ujrah atau 'iwad). Tapi dalam kenyataannya, mengapa perusahaan memungut bagi hasil, dan karenanya juga menanggung kerugian?

Khatimah

Beberapa pertanyaan di atas tidak lain demi kesempurnaan mu'amalah secara Islamy. Sebab, penyimpangan atau ketidaksesuaian setiap bentuk mu'amalah dari ajaran Islam hanya akan mengurangi atau bahkan menghilangkan kehalalan harta yang diperoleh.

Alternatif penyelesaiannya adalah sebagai berikut: Akad saling menanggung bisa dilakukan diantara para peserta. Jadi sejumlah para nasabah membentuk kesepakatan bersama untuk saling menanggung dengan cara mengumpulkan sejumlah uang. Bisa pula disepakati dana yang dikumpulkan dipakai sebagai modal usaha yang diputar oleh sebuah perusahaan, dimana sebagian atau seluruh keuntungan itulah yang digunakan sebagai dana tanggungan. Bila berlebih, bisa disepakati lebih jauh untuk menanggung orang lain yang bukan anggota takaful. "Perusahaan Takaful" (bisa dicari nama lain yang lebih netral) dalam hal ini bisa berperan sebagai wakil kedua belah pihak (pengusaha dan para nasabah), yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan kegiatan takaful. Lembaga ini memperoleh dana bisa dari pungutan biaya administrasi dari para nasabah atau imbalan baik dari nasabah ataupun pengusaha. Dana tersebut lebih banyak digunakan untuk biaya operasional atau mengembangkan kegiatan takaful. Bukan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian lembaga itu didirikan memang untuk kegiatan nirlaba, yang berbeda sama sekali baik dari falsafah pendirian, tujuan, maupun tata kerjanya dengan perusahaan asuransi dalam sistem kapitalis.

Takaful: Sebagai Alternatif

Sebagai kritik terhadap sistem asuransi konvensional yang dinilai mengandung riba, judi dan kedzaliman, di Indonesia telah berdiri perusahaan asuransi Islam (Takaful). Perusahaan ini diyakini berjalan sesuai prinsip-prinsip syariah dalam mua'amalah yang menyangkut prinsip jaminan, syirkah, bagi hasil dan ta'awun atau takaful (saling menanggung). Berasal dari bahasa Arab, takaful berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Menilik pengertiannya, asuransi takaful barangkali bisa digolongkan ke dalam bentuk Asuransi Saling Menanggung.

Menurut para penggagas Takaful, setidaknya terdapat tiga keberatan dalam praktek asuransi konvensional. Pertama, unsur gharar atau ketidakpastian. Kedua, maysir atau untung-untungan, dan ketiga, riba. Ketidakpastian atau gharar tercermin dalam bentuk akad dan sumber dana klaim serta keabsahan syar'iy penerimaan uang klaim. Peserta asuransi tahu berapa yang akan diterima tapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan karena hanya Allah saja yang mengetahui kapan ia meninggal (dalam hal asuransi jiwa). Aqad yang terjadi dalam asuransi konvensional adalah 'aqd tabadulli, yakni pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Padahal dalam Islam, harus jelas berapa yang akan kita bayar dan berapa yang akan kita terima. Dalam takaful unsur gharar dihilangkan. Akad yang dipakai bukan akad pertukaran tapi 'aqd takafuli, yakni akad tolong menolong dan saling menanggung. Artinya, semua peserta asuransi Islam menjadi penjamin satu sama lainnya. Kalau salah satu peserta meninggal yang lain menanggung, demikian sebaliknya.

Masih menyangkut gharar, dalam asuransi konvensional ada ketidakjelasan menyangkut sumber dana pembayaran klaim. Peserta tidak mengetahui darimana dana pertanggungan berasal manakala ia meninggal atau mendapat musibah sebelum premi yang harus dibayarkannya terpenuhi. Luas diketahui dana itu diperoleh dari sebagian bunga yang didapatkan dari penyimpanan uang premi para nasabah oleh perusahaan asuransi di bank konvensional. Bahkan bisa dikatakan bahwa dari bunga uang premi para nasabah itulah perusahaan mendapat "keuntungan", setelah dipotong untuk biaya operasi dan kemungkinan pembayaran uang tanggungan.

Dalam takaful, sejak awal nasabah telah diberi tahu dari mana dana yang diterimanya berasal, bila ia meninggal atau mendapat musibah. Ini dimungkinkan sebab setiap pembayaran premi sejak awal telah dibagi menjadi dua. Pertama masuk ke dalam rekening pemegang polis, dan kedua dimasukkan ke rekening khusus peserta yang diniatkan tabarru' (membantu) atau sadaqah untuk membantu saudaranya yang lain, misalnya dua persen (bisa berubah-ubah tergantung jumlah pemegang polis; semakin banyak semakin kecil) dari jumlah premi. Jika ada peserta yang meninggal sebelum masa jatuh temponya habis, kekurangan uang pertanggungan akan diambil dari rekening khusus atau tabarru' tadi.

Misalnya, seorang peserta mengambil waktu pertanggungan 10 tahun, dengan premi Rp 1 juta pertahun. Dari jumlah itu, dua persen (Rp 20 ribu) dimasukkan ke rekening khusus (tabarru') sehingga rekening peserta menjadi Rp 980 ribu setahun. Dalam 10 tahun terkumpul Rp 9,8 juta. Karena ia menitipkan uangnya pada perusahaan, peserta berhak mendapat keuntungan bagi hasil, misalnya 70:30. Tujuh puluh persen untuk nasabah, sisanya untuk perusahaan takaful.

Bila peserta tesebut meninggal pada tahun kelima masa angsuran misalnya, ia akan mendapat dana pertanggunan. Dana itu terdiri dari: rekening peserta selama lima tahun (5 x Rp 980 ribu) ditambah dengan bagi hasil selama lima tahun dari uang tersebut, misalnya Rp 400 ribu, dan sisa premi yang belum dibayarkan 5 x Rp 1juta Rp 5 juta. Dari mana perusahaan takaful mendapat uang Rp 5 juta ini?. Bagian lima juta inilah yang diambil dari dana tabarru' tadi.

Jika peserta tersebut mengundurkan diri pada tahun kelima, ia mendapatkan kembali uang sebesar Rp 5,3 juta, yang terdiri dari Rp 4,9 juta dari rekening peserta selama lima tahun dan Rp 400 ribu dari bagi hasil selama lima tahun.

Dalam praktek asuransi konvensional, peserta yang mengudurkan diri sebelum jangka waktu pertanggungan habis biasanya tidak mendapat apa-apa. Karena uang premi yang sudah dibayarkannya dianggap hangus. Kalaupun bisa diambil itu hanya sebagian kecil saja. Inilah yang dimaksud unsur maysir (judi) dalam asuransi konvensional. Dalam praktek seperti ini, ada pihak yang (selalu) diuntungkan, yakni perusahaan asuransi, dan ada pihak yang dirugikan, yakni peserta. Memang kini ada asuransi yang memungkinkan peserta mengundurkan diri sebelum waktu pertanggungan habis. Tapi biasanya perusahaan asuransi menentukan sendiri batas waktu boleh tidaknya uang yang sudah dibayarkan peserta ditarik kembali. Misalnya tiga tahun. Ini berarti sebelum tiga tahun (sebelum reversing period) peserta tidak bisa mengambil uangnya jika karena sesuatu hal mengundurkan diri. Selepas tiga tahun, peserta memang boleh mengambil kembali uangnya, tapi biasanya dipotong biaya administrasi.

Dalam takaful, reversing period atau masa dibolehkannya peserta mengambil uang yang telah dibayarkan (mengundurkan diri atau membatalkan kontrak) adalah sepanjang waktu pertanggungan. Kendati peserta baru membayar satu kali angsuran misalnya, ia berhak mendapatkan kembali uangnya jika mengundurkan diri, kecuali sebagian kecil yang dipotong untuk dana tabarru'.

Asuransi konvensional biasanya menginvestasikan dananya atas dasar perhitungan bunga. Begitu juga jika mereka harus meminjam uang dari bank. Artinya, unsur riba di sini sangat dominan. Takaful menghilangkan praktek ini. Kalaupun perusahaan takaful memutarkan uang nasabah ke pihak lain, perhitungan keuntungannya atas dasar bagi hasil. Pendek kata mereka hanya mau menempatkan dananya dalam investasi yang sesuai dengan prinsip syariah. Selisih nisbah pembagian keuntungan antara perusahaan takaful dengan bank syariah penyalur dana (BMI) -- harus demikian karena menurut UU yang berlaku, perusahaan asuransi hanya boleh menghimpun dana tapi tidak boleh menyalurkan dana -- dengan pembagian keuntungan antara perusahaan asuransi dengan nasabah itulah yang menjadi keuntungan perusahaan takaful.

Bentuk Asuransi

Prof. KH. Alie Yafie dalam buku Menggagas Fiqh Sosial, mengutip uraian Prof. Dr. Wirjono Projodikoro SH. dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia, dan Ny. Emmy Pangaribu Simanjutak SH. dalam Hukum Pertanggungan, menyebut ada beberapa bentuk asuransi.

Pertama, bila ditilik dari segi maksud dan tujuan yang hendak dicapai, asuransi dapat dibagi menjadi tiga, yakni Asuransi Ganti Kerugian, Asuransi Sejumlah Uang dan Asuransi Wajib. Asuransi Ganti Kerugian atau Asuransi Kerugian adalah suatu bentuk asuransi dimana terdapat suatu perjanjian berupa kesediaan pihak penanggung untuk mengganti kerugian yang diderita oleh pihak tertanggung. Ada kalanya penggantian kerugian yang diberikan oleh penanggung sebenarnya tidak dapat disebut ganti rugi yang sesungguhnya. Yang diterimanya itu sebenarnya adalah hasil penentuan sejumlah uang tertentu yang telah disepakati kedua belah pihak. Disebut kesepakatan, karena siapa yang mau nyawanya diganti dengan sejumlah uang? Asuransi yang demikian ini disebut Asuransi Sejumlah Uang atau Asuransi Orang, yang merupakan lawan (muqabil) dari asuransi ganti kerugian yang dianggap sebagai asuransi yang sesungguhnya. Yang termasuk golongan asuransi ganti kerugian ialah asuransi kebakaran, asuransi laut, asuransi pengangkutan di darat dan sebagainya. Dan yang termasuk golongan asuransi sejumlah uang ialah asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan. Di Barat istilah insurance digunakan untuk asuransi ganti kerugian sedang assurance untuk asuransi sejumlah uang.

Sedang dalam Asuransi Wajib, dikatakan wajib karena ada salah satu pihak yang mewajibkan kepada pihak lain dalam mengadakan perjanjian. Pihak yang mewajibkan ini biasanya adalah pihak pemerintah. Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai penanggung. Ia mewajibkan asuransi ini berdasarkan atas pertimbangan untuk melindungi golongan lemah dari bahaya yang mungkin akan menimpanya. Disamping itu juga ada tujuan lain, yakni mengumpulkan sejumlah uang premi yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk keperluan lain yang dianggap lebih penting.

Kedua, apabila ditilik dari sudut badan usaha yang menyelenggarakan asuransi, maka dapat dibagi menjadi dua, yakni Asuransi Premi dan Asuransi Saling Menanggung. Asuransi premi adalah bentuk asuransi biasa. Dalam asuransi ini terdapat suatu perusahaan asuransi di satu pihak yang mengadakan persetujuan asuransi dengan masing-masing pihak tertanggung secara sendiri-sendiri, dimana diantara tertanggung tidak ada hubungan hukum satu sama lain. Kebalikannya, di dalam asuransi saling menanggung ada suatu persetujuan dari semua para pihak tertanggung selaku anggota. Mereka tidak membayar premi, melainkan membayar semacam iuran kepada pengurus dari perkumpulan. Dan juga selaku anggota perkumpulan, mereka akan menerima pembayaran apabila memenuhi syarat, yang tergantung pada peristiwa yang semula belum dapat ditentukan akan terjadi.

Hukum Asuransi

Taqiyyudin al-Nabhani dalam kitab al-Nidzamu al-Iqtishady fi al-Islam, menyatakan bahwa asuransi adalah mu'amalah yang batil, oleh sebab dua perkara. Pertama, karena tidak terpenuhinya aqad dalam asuransi sebagai aqad yang sah menurut syara'. Kedua, karena aqad dalam asuransi tidak memenuhi syarat bagi sahnya aqad jaminan (dhaman).

Menurut Taqiyyudin, sebuah aqad dinilai sah oleh Islam bila aqadnya itu sendiri berlangsung secara sah, dan itu menyangkut barang atau jasa. Aqad terjadi menyangkut barang, baik dengan imbalan seperti dalam aqad jual beli, atau tanpa imbalan seperti dalam hibah atau hadiah. Aqad bisa pula terjadi pada jasa, baik dengan imbalan seperti dalam ijarah (perburuhan) atau tanpa imbalan seperti dalam aqad pinjaman ('ariyah). Dilihat dari kategori ini, aqad asuransi tidaklah termasuk aqad, baik menyangkut barang ataupun jasa. Karena faktanya, aqad asuransi itu berkaitan dengan perjanjian atas jaminan pertanggungan. Janji ini tidak dapat dianggap barang, karena dzatnya tidak bisa dinikmati serta dimanfaatkan. Tidak bisa juga dianggap jasa, karena tidak ada yang bisa memanfaatkan janji itu baik secara langsung maupun tidak. Adapun didapatnya sejumlah uang berdasarkan janji kesediaan menanggung itu, tetap tidak dapat merubah fakta bahwa janji itu bukanlah jasa, karena uang pertanggungan itu hanyalah merupakan akibat dari kesepakatan yang telah dilakukan sebelumnya. Dari itu jelaslah bahwa asuransi tidak memenuhi syarat agar bisa disebut aqad yang sah. Pendapat ini di
dukung oleh Khalid Abd. Rahman Ahmad dalam bukunya al-Tafkir al-Iqtishady fi al-Islam.

Masih menurut Syekh Taqiyyudin, jaminan (dhaman) adalah pemindahan harta pihak penjamin kepada pihak yang dijamin dalam menunaikan suatu kewajiban. Dalam pemindahan harta seseorang kepada pihak lain itu disyaratkan harus ada penjamin (dhamin), yang dijamin (madhmun 'anhu) dan yang menerima jaminan (madhmun lahu). Lalu agar jaminan itu sah, disyaratkan terjadi dalam perkara penunaian hak harta yang benar-benar wajib dipenuhi oleh yang dijamin, seperti hutang, atau yang akan jatuh tempo pemenuhannya, seperti mahar atau garansi terhadap barang dan sebagainya. Jika yang dijamin tidak mendapatkan apa-apa, maka dalam hal ini tidak terjadi pemindahan harta. Yang tidak wajib ditunaikan oleh pihak yang dijamin tentu lebih tidak wajib ditunaikan oleh pihak penjamin.

Dalilnya, Syekh Taqiyyudin menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Darda' dari Jawir. Dalam hadits ini diriwayatkan, Rasulullah pernah tidak bersedia menyalatkan (mayat) seorang laki-laki yang mempunyai hutang (semasa hidupnya). Rasulullah disodori jenasahnya (untuk dishalatkan), kemudian beliau bersabda: "Apakah ia mempunyai hutang?" Mereka menjawab: "Benar, yaitu dua dinar." Kemudian beliau bersabda: "Shalatkan sahabat kalian." Kemudian Abu Qathadah al-Anshari berkata: "Biarkan hutangnya menjadi tanggunganku, ya Rasulallah." Maka beliau lalu mau menyalatkannya. Ketika Allah telah menaklukkan berbagai negeri di bawah kekuasaan Rasulullah, beliau bersabda: "Aku lebih utama bagi setiap mukmin dari diri mereka sendiri. Maka barang siapa yang meninggalkan hutang, akulah yang akan melunasinya, dan barang siapa yang meninggalkan warisan maka harta warisan itu bagi pewarisnya"

Kisah dalam hadits di atas menunjukkan adanya aqad jaminan, yakni dalam apa yang telah dilakukan oleh Abu Qathadah dengan menjamin kewajiban pelunasan hutang-hutang si mayat. Di situ Abu Qathadah memindahkan kepemilikan sebagian hartanya kepada si mayat untuk menunaikan hak harta berupa hutang yang tentu saja tetap harus dibayar oleh si mayit. Kisah ini juga menunjukkan bahwa dalam masalah jaminan terdapat pihak penjamin, yakni Abu Qathadah; yang dijamin, yakni si mayit; dan pihak yang mendapatkan jaminan (majhul). Jelas pula bahwa jaminan adalah kewajiban penunaian hak harta tanpa suatu imbalan apapun, karena Abu Qathadah yang bersedia menjamin pembayaran hutang si mayit memang tidak memperoleh apa-apa. Sementara, dalam kisah di atas, pihak yang dijamin, yakni si mayat, dan pihak yang mendapatkan jaminan, yakni orang yang berpiutang adalah sama-sama majhul. Dengan demikian hadits ini telah sangat jelas memuat syarat sahnya aqad jaminan (dhaman).

Berdasarkan ketentuan ini, aqad jaminan pada asuransi konvensional tidaklah memenuhi keseluruhan syarat bagi sahnya sebuah aqad jaminan yang disahkan syariat. Dalam asuransi memang seolah-olah terdapat pihak penjamin, yakni perusahaan asuransi; pihak yang dijamin, yakni nasabah; dan yang menerima jaminan yang tergantung pada jenis asuransi. Bila asuransi jiwa misalnya, berarti penerima jaminan adalah ahli waris. Bila asuransi kecelakaan, kebakaran dan angkutan, yang menerima jaminan adalah nasabah itu sendiri. Tapi, bila ditilik lebih jauh, dalam asuransi itu sesungguhnya tidak ada pemindahan hak seseorang kepada orang lain. Perusahaan asuransi sendiri kenyataannya tidaklah menjaminkan hartanya kepada seseorang dalam menunaikan kewajiban pihak tertanggung (nasabah). Karenanya perusahaan asuransi tidak bisa disebut pihak penjamin (dhamin).

Di sini juga tidak ada jaminan, karena tidak ada hak harta yang harus ditunaikan oleh seseorang yang dijamin. Tanggungan yang diberikan oleh perusahaan asuransi berupa uang seharga barang atau sejumlah uang yang diserahkan oleh perusahaaan asuransi tersebut ternyata tidak otomatis diterima oleh penerima tanggungan ketika polis asuransi tersebut ditandatangani, baik secara tunai maupun dibayarkan kemudian. Dengan demikian perusahaan asuransi menjamin sesuatu yang tidak wajib dilaksanakan.

Dalam sistem asuransi juga tidak ada pihak yang dijamin (madhmun 'anhu), karena perusahaan asuransi tersebut tidak memberikan jaminan kepada seseorang yang harus memenuhi suatu hak. Lagi pula ketika perusahaan asuransi berjanji menyerahkan pertanggungan atau menyerahkan uang ganti rugi pada saat terjadinya kerusakan, atau hilangnya barang atau terjadinya kecelakaan, hal itu sebenarnya merupakan imbalan dari sejumlah premi yang diserahkan oleh pemegang polis (pihak tertanggung). Dengan begitu jelaslah bahwa sistem asuransi adalah jaminan dengan imbalan. Ini tentu tidak sah, karena salah satu syarat sahnya jaminan adalah apabila pemberi jaminan tersebut berlangsung tanpa imbalan apapun. Karena itulah secara keseluruhan asuransi adalah batil. Bila aqad asuransi batil, maka harta yang diperoleh adalah haram karena diperoleh dengan jalan haram

Pengertian Asuransi

Dr. H. Hamzah Ya'cub dalam buku Kode Etik Dagang Menurut Islam, menyebut bahwa asuransi berasal dari kata dalam bahasa Inggris insurance atau assurance yang berarti jaminan. Dalam pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dijelaskan bahwa asuransi adalah: suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu."

Pada awalnya asuransi dikenal di Eropa Barat pada Abad Pertengahan berupa asuransi kebakaran. Lalu pada abad 13 - 14, seiring dengan meningkatnya lalu lintas perhubungan laut antar pulau, berkembanglah asuransi pengangkutan laut. Asuransi jiwa sendiri baru dikenal pada awal abad 19. Kodifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte memuat pasal-pasal tentang asuransi dalam KUHD. Kodifikasi ini kemudian mempengaruhi KUHD Belanda, yang sebagiannya hingga sekarang masih dipakai di Indonesia.

Bentuk asuransi sekarang sudah sangat beragam. Disamping yang telah disebut, juga ada asuransi kecelakaan, asuransi kerusakan, asuransi kesehatan, asuransi pendidikan, asuransi kredit, bahkan juga asuransi organ tubuh (kaki pada pemain bola, suara pada penyanyi dan sebagainya).

Tujuan asuransi pada pokoknya adalah mengalihkan risiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain yang bersedia mengambil risiko itu dengan mengganti kerugian yang dideritanya. Pihak yang bersedia menerima risiko itu disebut penanggung (insurer). Ia mau melakukan hal itu tentu bukanlah semata-mata demi kemanusiaan saja (bahkan mungkin alasan sosial ini memang tidak pernah ada), tapi karena ia melihat dalam usaha ini terdapat celah untuk mengambil keuntungan. Sebagai perusahaan, pihak penanggung bagaimanapun lebih dapat menilai besarnya risiko itu dari pada pihak tertanggung (insured) seorang. Berdasarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi penanggung dan berapa besar persentase kemungkinan klaim yang akan diterimanya, didukung analisa statistik, perusahaan asuransi dapat menghitung besarnya penggantian kerugian. Dan dari jumlah inilah perusahaan memintakan premi kepada pihak tertanggung. Di luar itu, perusahaan asuransi masih memasukkan biaya operasional dan margin keuntungan untuk perusahaan. Ini merupakan teknik perusahaan asuransi untuk meraup untung. Bila biaya operasional dan margin keuntungan dari satu nasabah tertanggung sudah diperoleh, ditambah dengan perolehan bunga dari uang premi nasabah tiap bulan yang disimpan di bank, maka perusahaan asuransi tentu saja akan meraup untung berlipat-lipat dari semakin banyak nasabah yang berhasil digaet.

Memang diakui masih ada kemungkinan dalam prakteknya perhitungan teliti itu meleset. Dalam arti, masih ada bahaya besar bagi perusahaan bila menanggung sendiri. Tapi kemungkinan itu sangat kecil, kalau tidak bisa disebut tidak ada sama sekali. Disampingi itu, perusahaan bisa berupaya agar risiko itu ditanggung pula oleh pihak lain. Inilah yang dinamakan re-asuransi.