Saturday, January 30, 2010

SEKILAS TENTANG ASURANSI DALAM BMT SYARIAH 5

BMT Syariah - Akhirnya sampai juga ke bagian ujung dari tulisan Asuransi ini. Berikut adalah beberapa pertanyaan yang bisa memperjelas tentan asuransi.

Pertanyaan Yang masih Ada

Kendati sekilas tampaknya semua mekanisme takaful Islam telah berjalan sesuai syari'ah, tapi tak urung mengundang sejumlah pertanyaan. Pada pokoknya pertanyaan tersebut berpangkal pada dua perkara yakni: Pertama, tentang terpenuhi tidaknya syarat bagi sahnya aqad jaminan serta terpenuhi tidaknya syarat dalam aqad jaminan yang disahkan syara'; dan Kedua, seputar kedudukan perusahaan takaful itu sendiri: apakah ia berperan sebagai perusahaan penjamin, ataukah sebagai perusahaan pengelola dana nasabah (mudharib), atau hanya sekedar sebagai pialang (broker) yang mempertemukan nasabah sebagai pemilik dana dengan pengusaha.

Menurut fiqh Islam, sebagaimana disebut oleh Syekh Taqiyyudin al-Nabhani di atas, terdapat lima rukun dhaman, yakni adanya pihak yang menjamin dhamin), yang dijamin madhmun 'anhu) dan yang meneriman jaminan (madhmun lahu), dan adanya barang atau beban (harta) yang harus ditunaikan, yakni sebagaimana disebut oleh hadits di atas, berupa hak harta yang wajib dibayar atau akan jatuh tempo pemenuhannya, serta adanya ikrar atau ijab qabul. Nah, sudahkan kelima rukun ini lengkap ada dalam asuransi takaful?

Pada sisi lain ada kesamaran dalam mekanisme asuransi takaful. Bila dikaji lebih jauh, di dalam mekanisme kerja asuransi takaful agaknya berlangsung dua aqad sekaligus, yakni aqad saling menanggung diantara para nasabah (aqad takafuli) dan aqad syarikat antara nasabah dan perusahaan takaful yang dibuktikan dengan adanya bagi hasil uang nasabah yang disimpan perusahaan asuransi takaful. Dalam hal aqad saling menanggung, siapakah yang menjadi penanggung dan yang ditanggung? Bila aqad dalam Takaful adalah aqad takafuli antar peserta, pernahkan aqad itu berlangsung sebagaimana mestinya diantara mereka sendiri? Bila diantara nasabah sudah bisa saling menanggung, lalu apa fungsi perusahaan asuransi Takaful? Maksudnya, dalam hal ini kedudukan perusahaan Takaful sebagai apa? Apakah sebagai pihak pengelola dana nasabah? Bila sebagai pengelola dana nasabah, mengapa disebut perusahaan Takaful, mengapa bukan perusahaan biasa sebagaimana yang lain?

Tapi, benarkah perusahaan asuransi Takaful bertindak sebagai pengelola dana nasabah? Ternyata tidak, karena dana yang dikumpulkan tidak dikelola sendiri (menurut UU yang berlaku Takaful termasuk lembaga keuangan non bank yang hanya boleh menghimpun dana tapi tidak boleh menyalurkan apalagi memutarnya sendiri) melainkan disalurkan ke BMI. Itupun oleh BMI, karena juga tidak boleh berusaha (lembaga keuangan bank menurut UU hanya boleh menghimpun dan menyalurkan dana, tapi tidak boleh berusaha), disalurkan lagi kepada pengusaha. Karena bukan sebagai lembaga pengelola, maka semestinya perusahaan Takaful hanya berfungsi sebagai pialang (perantara) antara nasabah dan pengusaha (yang dalam faktanya itupun tidak pernah ada), ataupun wakil nasabah dalam berhadapan dengan pengusaha. Sebagai perantara, Takaful berhak mendapat komisi. Sedang sebagai wakil, Takaful bisa mendapat imbalan (ujrah atau 'iwad). Tapi dalam kenyataannya, mengapa perusahaan memungut bagi hasil, dan karenanya juga menanggung kerugian?

Penutup

Beberapa pertanyaan di atas tidak lain demi kesempurnaan mu'amalah secara Islamy. Sebab, penyimpangan atau ketidaksesuaian setiap bentuk mu'amalah dari ajaran Islam hanya akan mengurangi atau bahkan menghilangkan kehalalan harta yang diperoleh.

Alternatif penyelesaiannya adalah sebagai berikut: Akad saling menanggung bisa dilakukan diantara para peserta. Jadi sejumlah para nasabah membentuk kesepakatan bersama untuk saling menanggung dengan cara mengumpulkan sejumlah uang. Bisa pula disepakati dana yang dikumpulkan dipakai sebagai modal usaha yang diputar oleh sebuah perusahaan, dimana sebagian atau seluruh keuntungan itulah yang digunakan sebagai dana tanggungan. Bila berlebih, bisa disepakati lebih jauh untuk menanggung orang lain yang bukan anggota takaful. "Perusahaan Takaful" (bisa dicari nama lain yang lebih netral) dalam hal ini bisa berperan sebagai wakil kedua belah pihak (pengusaha dan para nasabah), yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan kegiatan takaful. Lembaga ini memperoleh dana bisa dari pungutan biaya administrasi dari para nasabah atau imbalan baik dari nasabah ataupun pengusaha. Dana tersebut lebih banyak digunakan untuk biaya operasional atau mengembangkan kegiatan takaful. Bukan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian lembaga itu didirikan memang untuk kegiatan nirlaba, yang berbeda sama sekali baik dari falsafah pendirian, tujuan, maupun tata kerjanya dengan perusahaan asuransi dalam sistem kapitalis.

Wallahu'alam bis-shawab


Disampaikan pada acara Gebyar Ramadhan, PT. Rekayasa Industri, Jakarta, Rabu, 5 Februari 1997.

Ismail Yusanto. Dosen Univ. Ibn Khaldun Bogor, Ketua Yayasan Kemudi, Pengamat masalah Ekonomi Islam.

Thursday, January 14, 2010

SEKILAS TENTANG ASURANSI DALAM BMT SYARIAH 4

BMT Syariah - Tidak disangka ya, ternyata asuransi hukumnya begitu. Masyarakat kita memang masih awam akan hal ini. Kalau asuransi hukumnya haram, apakah ada yang lebih baik? Pasti ada dong.

Nah, pada artikel kali ini kita akan membahas tentang Takaful, yang bisa kita jadikan alternatif untuk asuransi. Silahkan dilanjut bacanya :-)

Takaful: Sebagai Alternatif

Sebagai kritik terhadap sistem asuransi konvensional yang dinilai mengandung riba, judi dan kedzaliman, di Indonesia telah berdiri perusahaan asuransi Islam (Takaful). Perusahaan ini diyakini berjalan sesuai prinsip-prinsip syariah dalam mua'amalah yang menyangkut prinsip jaminan, syirkah, bagi hasil dan ta'awun atau takaful (saling menanggung). Berasal dari bahasa Arab, takaful berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Menilik pengertiannya, asuransi takaful barangkali bisa digolongkan ke dalam bentuk Asuransi Saling Menanggung.

Menurut para penggagas Takaful, setidaknya terdapat tiga keberatan dalam praktek asuransi konvensional. Pertama, unsur gharar atau ketidakpastian. Kedua, maysir atau untung-untungan, dan ketiga, riba. Ketidakpastian atau gharar tercermin dalam bentuk akad dan sumber dana klaim serta keabsahan syar'iy penerimaan uang klaim. Peserta asuransi tahu berapa yang akan diterima tapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan karena hanya Allah saja yang mengetahui kapan ia meninggal (dalam hal asuransi jiwa). Aqad yang terjadi dalam asuransi konvensional adalah 'aqd tabadulli, yakni pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Padahal dalam Islam, harus jelas berapa yang akan kita bayar dan berapa yang akan kita terima. Dalam takaful unsur gharar dihilangkan. Akad yang dipakai bukan akad pertukaran tapi 'aqd takafuli, yakni akad tolong menolong dan saling menanggung. Artinya, semua peserta asuransi Islam menjadi penjamin satu sama lainnya. Kalau salah satu peserta meninggal yang lain menanggung, demikian sebaliknya.

Masih menyangkut gharar, dalam asuransi konvensional ada ketidakjelasan menyangkut sumber dana pembayaran klaim. Peserta tidak mengetahui darimana dana pertanggungan berasal manakala ia meninggal atau mendapat musibah sebelum premi yang harus dibayarkannya terpenuhi. Luas diketahui dana itu diperoleh dari sebagian bunga yang didapatkan dari penyimpanan uang premi para nasabah oleh perusahaan asuransi di bank konvensional. Bahkan bisa dikatakan bahwa dari bunga uang premi para nasabah itulah perusahaan mendapat "keuntungan", setelah dipotong untuk biaya operasi dan kemungkinan pembayaran uang tanggungan.

Dalam takaful, sejak awal nasabah telah diberi tahu dari mana dana yang diterimanya berasal, bila ia meninggal atau mendapat musibah. Ini dimungkinkan sebab setiap pembayaran premi sejak awal telah dibagi menjadi dua. Pertama masuk ke dalam rekening pemegang polis, dan kedua dimasukkan ke rekening khusus peserta yang diniatkan tabarru' (membantu) atau sadaqah untuk membantu saudaranya yang lain, misalnya dua persen (bisa berubah-ubah tergantung jumlah pemegang polis; semakin banyak semakin kecil) dari jumlah premi. Jika ada peserta yang meninggal sebelum masa jatuh temponya habis, kekurangan uang pertanggungan akan diambil dari rekening khusus atau tabarru' tadi.

Misalnya, seorang peserta mengambil waktu pertanggungan 10 tahun, dengan premi Rp 1 juta pertahun. Dari jumlah itu, dua persen (Rp 20 ribu) dimasukkan ke rekening khusus (tabarru') sehingga rekening peserta menjadi Rp 980 ribu setahun. Dalam 10 tahun terkumpul Rp 9,8 juta. Karena ia menitipkan uangnya pada perusahaan, peserta berhak mendapat keuntungan bagi hasil, misalnya 70:30. Tujuh puluh persen untuk nasabah, sisanya untuk perusahaan takaful.

Bila peserta tesebut meninggal pada tahun kelima masa angsuran misalnya, ia akan mendapat dana pertanggunan. Dana itu terdiri dari: rekening peserta selama lima tahun (5 x Rp 980 ribu) ditambah dengan bagi hasil selama lima tahun dari uang tersebut, misalnya Rp 400 ribu, dan sisa premi yang belum dibayarkan 5 x Rp 1juta Rp 5 juta. Dari mana perusahaan takaful mendapat uang Rp 5 juta ini?. Bagian lima juta inilah yang diambil dari dana tabarru' tadi.

Jika peserta tersebut mengundurkan diri pada tahun kelima, ia mendapatkan kembali uang sebesar Rp 5,3 juta, yang terdiri dari Rp 4,9 juta dari rekening peserta selama lima tahun dan Rp 400 ribu dari bagi hasil selama lima tahun.

Dalam praktek asuransi konvensional, peserta yang mengudurkan diri sebelum jangka waktu pertanggungan habis biasanya tidak mendapat apa-apa. Karena uang premi yang sudah dibayarkannya dianggap hangus. Kalaupun bisa diambil itu hanya sebagian kecil saja. Inilah yang dimaksud unsur "maysir" (judi) dalam asuransi konvensional. Dalam praktek seperti ini, ada pihak yang (selalu) diuntungkan, yakni perusahaan asuransi, dan ada pihak yang dirugikan, yakni peserta. Memang kini ada asuransi yang memungkinkan peserta mengundurkan diri sebelum waktu pertanggungan habis. Tapi biasanya perusahaan asuransi menentukan sendiri batas waktu boleh tidaknya uang yang sudah dibayarkan peserta ditarik kembali. Misalnya tiga tahun. Ini berarti sebelum tiga tahun (sebelum reversing period) peserta tidak bisa mengambil uangnya jika karena sesuatu hal mengundurkan diri. Selepas tiga tahun, peserta memang boleh mengambil kembali uangnya, tapi biasanya dipotong biaya administrasi.

Dalam takaful, reversing period atau masa dibolehkannya peserta mengambil uang yang telah dibayarkan (mengundurkan diri atau membatalkan kontrak) adalah sepanjang waktu pertanggungan. Kendati peserta baru membayar satu kali angsuran misalnya, ia berhak mendapatkan kembali uangnya jika mengundurkan diri, kecuali sebagian kecil yang dipotong untuk dana tabarru'.

Asuransi konvensional biasanya menginvestasikan dananya atas dasar perhitungan bunga. Begitu juga jika mereka harus meminjam uang dari bank. Artinya, unsur riba di sini sangat dominan. Takaful menghilangkan praktek ini. Kalaupun perusahaan takaful memutarkan uang nasabah ke pihak lain, perhitungan keuntungannya atas dasar bagi hasil. Pendek kata mereka hanya mau menempatkan dananya dalam investasi yang sesuai dengan prinsip syariah. Selisih nisbah pembagian keuntungan antara perusahaan takaful dengan bank syariah penyalur dana (BMI) -- harus demikian karena menurut UU yang berlaku, perusahaan asuransi hanya boleh menghimpun dana tapi tidak boleh menyalurkan dana -- dengan pembagian keuntungan antara perusahaan asuransi dengan nasabah itulah yang menjadi keuntungan perusahaan takaful.

Saturday, January 2, 2010

SEKILAS TENTANG ASURANSI DALAM BMT SYARIAH 3

BMT Syariah - Setelah membahas pengertian asuransi lalu bentuk-bentuk asuransi, kini saatnya menginjak bagian hukum. Apa sih hukum asuransi, halal tidak di mata agama, dan beberapa pertanyaan lainnya akan dibahas di bagian ini.

Hukum Asuransi

Taqiyyudin al-Nabhani dalam kitab al-Nidzamu al-Iqtishady fi al-Islam, menyatakan bahwa asuransi adalah mu'amalah yang batil, oleh sebab dua perkara. Pertama, karena tidak terpenuhinya aqad dalam asuransi sebagai aqad yang sah menurut syara'. Kedua, karena aqad dalam asuransi tidak memenuhi syarat bagi sahnya aqad jaminan (dhaman).

Menurut Taqiyyudin, sebuah aqad dinilai sah oleh Islam bila aqadnya itu sendiri berlangsung secara sah, dan itu menyangkut barang atau jasa. Aqad terjadi menyangkut barang, baik dengan imbalan seperti dalam aqad jual beli, atau tanpa imbalan seperti dalam hibah atau hadiah. Aqad bisa pula terjadi pada jasa, baik dengan imbalan seperti dalam ijarah (perburuhan) atau tanpa imbalan seperti dalam aqad pinjaman ('ariyah). Dilihat dari kategori ini, aqad asuransi tidaklah termasuk aqad, baik menyangkut barang ataupun jasa. Karena faktanya, aqad asuransi itu berkaitan dengan perjanjian atas jaminan pertanggungan. Janji ini tidak dapat dianggap barang, karena dzatnya tidak bisa dinikmati serta dimanfaatkan. Tidak bisa juga dianggap jasa, karena tidak ada yang bisa memanfaatkan janji itu baik secara langsung maupun tidak. Adapun didapatnya sejumlah uang berdasarkan janji kesediaan menanggung itu, tetap tidak dapat merubah fakta bahwa janji itu bukanlah jasa, karena uang pertanggungan itu hanyalah merupakan akibat dari kesepakatan yang telah dilakukan sebelumnya. Dari itu jelaslah bahwa asuransi tidak memenuhi syarat agar bisa disebut aqad yang sah. Pendapat ini di dukung oleh Khalid Abd. Rahman Ahmad dalam bukunya "al-Tafkir al-Iqtishady fi al-Islam".

Masih menurut Syekh Taqiyyudin, jaminan (dhaman) adalah pemindahan harta pihak penjamin kepada pihak yang dijamin dalam menunaikan suatu kewajiban. Dalam pemindahan harta seseorang kepada pihak lain itu disyaratkan harus ada penjamin (dhamin), yang dijamin (madhmun 'anhu) dan yang menerima jaminan (madhmun lahu). Lalu agar jaminan itu sah, disyaratkan terjadi dalam perkara penunaian hak harta yang benar-benar wajib dipenuhi oleh yang dijamin, seperti hutang, atau yang akan jatuh tempo pemenuhannya, seperti mahar atau garansi terhadap barang dan sebagainya. Jika yang dijamin tidak mendapatkan apa-apa, maka dalam hal ini tidak terjadi pemindahan harta. Yang tidak wajib ditunaikan oleh pihak yang dijamin tentu lebih tidak wajib ditunaikan oleh pihak penjamin.

Dalilnya, Syekh Taqiyyudin menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Darda' dari Jawir. Dalam hadits ini diriwayatkan, Rasulullah pernah tidak bersedia menyalatkan (mayat) seorang laki-laki yang mempunyai hutang (semasa hidupnya). Rasulullah disodori jenasahnya (untuk dishalatkan), kemudian beliau bersabda: "Apakah ia mempunyai hutang?" Mereka menjawab: "Benar, yaitu dua dinar." Kemudian beliau bersabda: "Shalatkan sahabat kalian." Kemudian Abu Qathadah al-Anshari berkata: "Biarkan hutangnya menjadi tanggunganku, ya Rasulallah." Maka beliau lalu mau menyalatkannya. Ketika Allah telah menaklukkan berbagai negeri di bawah kekuasaan Rasulullah, beliau bersabda: "Aku lebih utama bagi setiap mukmin dari diri mereka sendiri. Maka barang siapa yang meninggalkan hutang, akulah yang akan melunasinya, dan barang siapa yang meninggalkan warisan maka harta warisan itu bagi pewarisnya"

Kisah dalam hadits di atas menunjukkan adanya aqad jaminan, yakni dalam apa yang telah dilakukan oleh Abu Qathadah dengan menjamin kewajiban pelunasan hutang-hutang si mayat. Di situ Abu Qathadah memindahkan kepemilikan sebagian hartanya kepada si mayat untuk menunaikan hak harta berupa hutang yang tentu saja tetap harus dibayar oleh si mayit. Kisah ini juga menunjukkan bahwa dalam masalah jaminan terdapat pihak penjamin, yakni Abu Qathadah; yang dijamin, yakni si mayit; dan pihak yang mendapatkan jaminan (majhul). Jelas pula bahwa jaminan adalah kewajiban penunaian hak harta tanpa suatu imbalan apapun, karena Abu Qathadah yang bersedia menjamin pembayaran hutang si mayit memang tidak memperoleh apa-apa. Sementara, dalam kisah di atas, pihak yang dijamin, yakni si mayat, dan pihak yang mendapatkan jaminan, yakni orang yang berpiutang adalah sama-sama majhul. Dengan demikian hadits ini telah sangat jelas memuat syarat sahnya aqad jaminan (dhaman).

Berdasarkan ketentuan ini, aqad jaminan pada asuransi konvensional tidaklah memenuhi keseluruhan syarat bagi sahnya sebuah aqad jaminan yang disahkan syariat. Dalam asuransi memang seolah-olah terdapat pihak penjamin, yakni perusahaan asuransi; pihak yang dijamin, yakni nasabah; dan yang menerima jaminan yang tergantung pada jenis asuransi. Bila asuransi jiwa misalnya, berarti penerima jaminan adalah ahli waris. Bila asuransi kecelakaan, kebakaran dan angkutan, yang menerima jaminan adalah nasabah itu sendiri. Tapi, bila ditilik lebih jauh, dalam asuransi itu sesungguhnya tidak ada pemindahan hak seseorang kepada orang lain. Perusahaan asuransi sendiri kenyataannya tidaklah menjaminkan hartanya kepada seseorang dalam menunaikan kewajiban pihak tertanggung (nasabah). Karenanya perusahaan asuransi tidak bisa disebut pihak penjamin (dhamin).

Di sini juga tidak ada jaminan, karena tidak ada hak harta yang harus ditunaikan oleh seseorang yang dijamin. Tanggungan yang diberikan oleh perusahaan asuransi berupa uang seharga barang atau sejumlah uang yang diserahkan oleh perusahaaan asuransi tersebut ternyata tidak otomatis diterima oleh penerima tanggungan ketika polis asuransi tersebut ditandatangani, baik secara tunai maupun dibayarkan kemudian. Dengan demikian perusahaan asuransi menjamin sesuatu yang tidak wajib dilaksanakan.

Dalam sistem asuransi juga tidak ada pihak yang dijamin (madhmun 'anhu), karena perusahaan asuransi tersebut tidak memberikan jaminan kepada seseorang yang harus memenuhi suatu hak. Lagi pula ketika perusahaan asuransi berjanji menyerahkan pertanggungan atau menyerahkan uang ganti rugi pada saat terjadinya kerusakan, atau hilangnya barang atau terjadinya kecelakaan, hal itu sebenarnya merupakan imbalan dari sejumlah premi yang diserahkan oleh pemegang polis (pihak tertanggung). Dengan begitu jelaslah bahwa sistem asuransi adalah jaminan dengan imbalan. Ini tentu tidak sah, karena salah satu syarat sahnya jaminan adalah apabila pemberi jaminan tersebut berlangsung tanpa imbalan apapun. Karena itulah secara keseluruhan asuransi adalah batil. Bila aqad asuransi batil, maka harta yang diperoleh adalah haram karena diperoleh dengan jalan haram.